Budaya Fee’

Ujang, salah satu temanku waktu dikampus dulu, tiba-tiba menelponku. sambil berbasa-basi kesana kemari, Ujang sedikit menceritakan pengalamannya bekerja disebuah perusahaan kontraktor. Disela-sela pembicaraannya sesekali ujang mencurahkan keluh kesahnya kepadaku. ah aku pikir ujang kan enak bekerja di perusahaan yang sedang berkembang, ternyata masih punya keluh kesah juga.

Perusahaan kontraktor tempat ujang bekerja bergerak dibidang property dan perlengkapan kantor. ujang dipercaya sebagai ketua tim lobiying ke calon-calon client perusahaan. Aku sih memakluminya, dari dulu Ujang aktif di Organisasi ekstra kampus, dari mulai sekjen sampai ketuanya. wajar lah kalau beliau menjadi tim ahli lobi.

Ujang sebenarnya seorang yang idealis dan relijius, ia punya segudang ide dan kreatifitas untuk mengembangkan suatu organisasi atau bahkan perusahaan. disisi lain ia juga sangat religius, sangat anti dengan sesuatu yang subhat apalagi haram.

Disela-sela obrolannya yang lumayan panjang bak kereta api, Ujang mengeluhkan sistem birokrasi yang ada di setiap lembaga yang ia masuki dan diajak bekerja sama dengan perusahaanya. satu hal yang membuat Ujang gusar adalah soal Fee’. yah fee, alias permintaan pengembalian atau bonus dari perusahaan untuk lembaga atau bahkan kadang orang tertentu yang merasa berjasa menjembatani lancarnya suatu proyek.

Tiba-tiba saja ingatanku melayang sekitar 13 tahun yang lalu saat bekerja di suatu CV yang bergerak di bidang penjualan alat-alat elektronik dan komputer. kebetulan pada waktu itu aku termasuk salah satu bagian di tim marketing.

Suatu ketika, aku dan temanku Er, berhasil menggoalkan proposal penawaran komputer dan printer ke sebuah sekolah di kota X. sebelum penandatanganan kesepakatan, salah seorang ketua tim belanja barang mengajakku untuk berbicara empat mata terkait dana fee’ dari CV untuk tim di sekolah. wah aku yang waktu itu masih awam, agak tercengang. pasalnya ini lembaga pendidikan. dengan rasa agak sedikit bingung, aku meminta waktu untuk berkonsultasi dengan pimpinan sebelum memutuskan hal tersebut.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku masih terbayang akan masalah fee yang tadi dibicarakan oleh pihak pembeli. rasanya agak gimana gitu. dengan sedikit keberanian aku mencoba menghubungi Pak Z (ketua tim belanja barang sekolah) tadi. aku sampaikan bahwa kami keberatan dengan permintaan fee tersebut, dan kami berencana untuk melaporkan masalah ini ke pihak atasan pak Z.

Sontak dengan santainya, Pak Z mengatakan kepadaku, ” silakan laporkan saja, itu tak masalah bagi kami”. ah mungkin aku yang terlalu lugu, idealis dan bodoh. aku yang tak tahu tradisi dan budaya semacam itu.

Apa yang aku alami, ternyata juga dialami oleh Ujang, artinya mungkinkah ini adalah sebuah budaya???entahlah aku juga tidak tahu. terkdang banyak alasan yang disampaikan masalah fee ini. ada yang bilang untuk tim kerja, ada yang bilang buat pemasukan kas dan lain sebagainya. mbundet kalo difikir-pikir mah. atau ada yang bilang sebagai pelicin biar proyeknya lancar. Ajib lah.

Ujang sendiri sudah berkali-kali menghadapi hal yang seperti itu, lebih-lebih perusahaan ujang lumayan besar dan bonafit. jauh diatas CV yang dulu aku pernah bekerja. sepertiny ini sangat menggelitk dan membuat bulu romaku berdiri, persis kaya mau ketemu mak lampir saja. hehe..sekali lagi pertanyaan besarku adalah “apakah ini budaya atau tradisi?”, jawabanku ” entahlah”.