Catatan seorang Blacklist: Sebuah pelajaran etika

Satu hal yang selalu saya ingat dulu ketika hendak memulai mengaji kitab (baca:buku), Ustad selalu mengawalinya dengan mengirimi Fatihah dan Doa untuk Orang Tua, guru dan khususon untuk pengarang kitab yang hendak dibaca.

Kelihatannya hal ini sepele, akan tetapi memiliki makna etika yang dalam. Bukan semata-mata mendoa, lebih dari itu, ini mengajarkan aku bagaimana menghormati dan menghargai seorang guru, meski pun aku sendiri tidak mengenal sama sekali siapa sang penulisnya.

Setidaknya ada dua nilai moral yang secara implisit diajarkan oleh guru saya, pertama, beliau sedang mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang rendah hati atau tawadhu, tidak sombong, sikap rendah hati setidaknya akan mampu membuat santri mampu memahami pesan yang terkandung dalam pelajaran yang diberikan oleh pengarang kitab tersebut. Sebaliknya sikap sombong akan membuat susah untuk menerimanya.

kedua, menurut penulis, sang Guru sedang mengajarkan kepada santri agar menjadi insan yang bisa menghargai karya orang lain, dengan mengirim fatihan atau doa kepada sang pengarang, secara tidak langsung memperkenalkan bahwa karya tersebut adalah miliknya.

Sikap ini terlihat sepele, akan tetapi dalam realitas sehari-hari sering kita tidak menyadarinya. Ketika semua orang bisa menghargai hak cipta orang lain maka alangkah indahnya hidup ini.

maka tidak aneh jika di berbagai pesantren, lebih menekankan pendidikan akhlak terlebih dahulu ketimbang mempelajari ilmu yang lainnya. sebab apa guna ilmu tinggi tapi akhlaknya nol. kitab-kitab seperti akhlak lil banin, wasoya, dll banyak diajarkan kepada santri-santri pemula. ini sangat luar biasa.

Yang terakhir jangan lupa kirim fatihah untuk Guru saya (ustadku), Beliau Al Ustad Agus Khowi… Semoga beliau selalu diberi kesehatan oleh Allah SWT… Alfatihah