
Secara historis, lahirnya gerakan rekonstruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan berawal dari terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul reconstruction in philosophy. Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg pada tahun 1930-an melalui keinginan mereka untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai sebuah media rekonstruksi terhadap masyarakat.
Rekonstruksionisme sendiri merupakan kelanjutan dari aliran progresivisme. Aliran ini lahir karena mereka berpikir bahwa aliran progrisivisme hanya memikirkan masalah masalah yang terjadi dalam masyarakat. Sedangkan rekonstruksionisme beranggapan bahwa merubah sesuatu yang telah ada dan memecahkan masalah yang terjadi di masyarakat. Rekonstrkusionisme di pelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930 yang ingin membangun masyarakat baru, masyrakat yang pantas dan adil. Tokoh-tokoh aliran rekonstruksionisme yaitu Caroline Pratt, George Count, dan Harold Rug.
Aliran rekonstruksionisme dianggap cocok untuk dunia pendidikan yang lebih baik karena aliran ini bepikir bagaimana kita mampu menciptakan sumber daya manusia yang sanggup bersaing di era modernisasi yang tidak hanya cerdas dalam bidang pengetahuan tetapi memiliki keterampilan dan sikap yang baik. Selain itu aliran ini menekankan bahwa peserta didik sebagai sasaran utama dalam pendidikan.
Peserta didik dituntut untuk lebih aktif dalam mengemukakan pendapatnya dan pemikirannya dalam pemecahan suatu masalah. Jadi peran guru disini hanya sebagai fasilitator bukan yang banyak memberikan pemecahan solusi suatu masalah. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan rekonstruksionisme ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru. Tanpa menghilangkan esensi budaya yang terdahulu. Jadi kebudayaan terdahulu dijadikan sebagai tolak ukur pembentukkan tatanan kebudayaan yang baru.
Aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut baik aliran rekonstruksionisme mau pun perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Oleh karena itu, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru. Untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat manusia1. Tujuan Pendidikan bagi kaum rekonstruktionis adalah membangkitkan kesadaran siswa tentang masalah sosial dan untuk secara aktif terlibat dalam pemecahan masalah2.
Aliran rekonstruksi pendidikan berpedoman pada ajaran aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (Evidence), yang menggunakan jalan pemikiran silogisme. Silogisme menunjukan hubungan logis antara premis mayor dan premis minor serta kesimpulan (conclusion), yang memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif induktif