
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar kemungkinan pemukanya bermazhab Syi’ah.
Mengenai namanya, berapa sumber menyebutkan bahwa sebutan Miskawaih merupakan gelar yang diberikan kepadanya bukan dari kakeknya. Selain itu Ia juga sering dipanggil Abu Ali Al-Khazin. Sebutan Abu Ali dinisbatkan kepada sahabat Ali bin Abu Thalib yang merupakan orang yang disucikan dalam Syiah, sedangkan Al-Khazin merupakan panggilan yang diberikan kepadanya karena beliau adalah seorang bendahara di lingkungan dinasti Buwaihi.
Pada mulanya Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut agama Majusi, kemudian memeluk Islam dan mempelajari syariat Islam secara menyeluruh. Sehingga ia mampu menguasai ajaran Islam dengan baik bahkan menguasai berbagai bidang keilmuan.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Pada tahun 348 H, Ibnu Miskawaih hijrah ke Baghdad dan mengabdi kepada al-Mahalbi al-Hasan bin Muhammad al-Azdi untuk menjadi seorang sekretaris pribadinya. Setelah al-Mahalbi meninggal dunia, Ibnu Miskawaih kembali ke kota Ray (sekarang Teheran) kemudian mengabdi kepada Ibn al-Amid, sebagai kepala perpustakaan sekaligus sekretaris pribadinya sampai menteri Ibn al-Amid pada tahun 360 H.
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah
yang rinci. Namun dijumpai keterangan, bahwa ia belajar sejarah, terutama Tarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadli (350 H/960 M), dan memperdalami filsafat pada Ibn al-Akhmar, merupakan tokoh yang dianggap mampu menguasai karya-karya Aristoteles. Sedangkan ilmu kimia, Ibnu Miskawaih belajar kepada Abu al- Thayyib al-Razi.
Dalam banyak bidang ilmu pengetahuan. Miskawaih adalah seorang
pakar yang aktif. Tulisan-tulisannya dan informasi-informasi tentang dirinya dalam berbagai sumber menjadi saksi tentang keluasaan ilmu pengetahuannya dan kebesaran kultur di masanya. Namun sumbangsih utamanya terletak padadua bidang: sejarah dan etika.
Dalam bidang sejarah dia menulis sebuah karya penting, Tajarib Al-umam Wa Ta’aqib Al Hamam (pengalaman bangsa-bangsa), sebuah sejarah
universal sampai tahun 369 H (979-80M) yang khususnya penting bagi
periode setelah At-Thabari, dan di mana menurut editor dan penerjemahnya, D.S. Margoliouth, Miskawaih memperlihatkan bahwa dirinya jelas-jelas lebih unggul dibandingkan para sejarahwan terkemuka sebelumnya.
Ada pun bidang etika, karyanya yang paling penting dan berpengaruh adalah Tahdzib Al-Akhlak Wa Tathir Al-A’raq. Merupakan buku induk karyanya yang berbicara tentang pendidikan akhlak.
Ibnu Miskawaih seorang yang tekun dalam melakukan percobaan-percoabaan unuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk mengajari dan mendidik anak-anak penjebat pemerintah, hal ini tentu menunjukkan bahwa ibnu Miskawaih dikenal keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.
Ibn Miskawaih juga digelari Guru ketiga (Al-Mualimin Al-Tsalits) setelah Al-Farabi yang digelari guru kedua (Al-Mualimin Al-Tsani) sedangkan yang dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak Etika Islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika Ibn Miskawaih berasal dari filasafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.
Ibnu Miskawaih bukan hanya seoarang teoritis dalam hal-hal akhlaq akan tetapi Ia juga adalah seorang yang menggunakan secara praktis apa yang telah ia tuliskan dalam buku-bukunya terutama tentang akhlak.
Persoalan akhlak yang ditulis dan digeluti oleh Ibnu Miskawaih di masa hidupnya bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja, akan tetapi pengalaman dan kehidupannya dimasa muda yang bergumul dengan dunia glamour istana membuatnya berfikir keras.
Dalam beberapa literartur disebutkan bahwa kondisi kehidupan di masyarakat pada waktu itu sangat jauh dari nilai-nilai islam yang luhur. Salah satu permasalahannya adalah merosotnya akhlak generasi muda. Realita ini lah kemudian yang mendorong Ibnu Miskawaih untuk mengkaji, menekuni dan mempelajari akhlak.