Ibnu Miskawaih (932-1030 M),Bapak Filsafat Etika dan Pendidikan Akhlak

Biografi singkat Ibnu Miskawaih (932-1030 M)

Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ya’qub Ibnu Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang kemungkinan besar pemukanya bermazhab Syi’ah. Mengenai namanya, berapa sumber menyebutkan bahwa sebutan Miskawaih merupakan gelar yang diberikan kepadanya bukan dari kakeknya. Selain itu Ia juga sering dipanggil Abu Ali Al-Khazin. Sebutan Abu Ali dinisbatkan kepada sahabat Ali bin Abi Thalib yang merupakan orang yang disucikan dalam Syiah, sedangkan Al-Khazin merupakan panggilan yang diberikan kepadanya karena beliau adalah seorang bendahara di lingkungan dinasti Buwaihi.

Sebelum masuk Islam, Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut agama Majusi, kemudian memeluk Islam dan mempelajari syariat Islam secara menyeluruh. Sehingga ia mampu menguasai ajaran Islam dengan baik bahkan menguasai berbagai bidang keilmuan. dalam beberapa literatur, beliau bukan hanya menguasai satu bidang keilmuan filsafat saja, melainkan menguasai matematika, kedokteran dan sejarah.

Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.

Pada tahun 348 H, Ibnu Miskawaih hijrah ke Baghdad dan mengabdi kepada al-Mahalbi al-Hasan bin Muhammad al-Azdi untuk menjadi seorang sekretaris pribadinya. Setelah al-Mahalbi meninggal dunia, Ibnu Miskawaih kembali ke kota Ray (sekarang Teheran) kemudian mengabdi kepada Ibnu al-Amid, sebagai kepala perpustakaan sekaligus sekretaris pribadinya sampai menteri Ibnu al-Amid pada tahun 360 H.

Di Indonesia namanya kurang terkenal, bahkan dalam buku-buku sejarah pemikiran Islam jarang sekali nama beliau disebutkan. mungkin karena beliau adalah penganut madhab syiah, sehingga tidak dimasukan dalam materi sejarah atau tarikh islam khususnya di level pendidikan dasar-menengah. Penulis sendiri baru mengenal beliau setelah duduk dibangku kuliah.

Riwayat singkat pendidikan Ibnu Miskawaih (932-1030 M)

Dari segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun dapat diduga bahwa pendidikan Ibnu Miskawaih tidak jauh berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin berpendapat bahwa pendidikan anak pada zaman Abbasiyah pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur‟an, dasar-dasar bahasa Arab, tata bahsa Arab, (nahwu) dan arudh (ilmu membaca dan membuat syair).

Ibnu Miskawaih belajar sejarah, terutama Tarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadli (350 H/960 M), dan memperdalami filsafat pada Ibnu al-Akhmar, merupakan tokoh yang dianggap mampu menguasai karya-karya Aristoteles. Sedangkan ilmu kimia, Ibnu Miskawaih belajar kepada Abu al-Thayyib al-Razi.

Miskawaih adalah seorang pakar yang aktif. Tulisan-tulisannya dan informasi-informasi tentang dirinya dalam berbagai sumber menjadi saksi tentang keluasaan ilmu pengetahuannya dan kebesaran kultur di masanya. Namun sumbangsih utamanya terletak pada dua bidang: sejarah dan etika.

Pengetahuan Ibnu Miskawaih yang amat menonjol dari hasil banyak membaca buku itu ialah tentang sejarah, filsafat, dan sastra. Hingga saat ini nama Ibnu Miskawaih dikenal terutama sekali dalam keahliannya sebagai sejarahwan dan filosuf. Sebagai filosuf Ibnu Miskawaih memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Ibnu Miskawaih-lah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.

Dalam bidang sejarah dia menulis sebuah karya penting, Tajarib Al-umam Wa Ta’aqib Al Hamam (pengalaman bangsa-bangsa), sebuah sejarah universal sampai tahun 369 H (979-80M) yang khususnya penting bagi periode setelah At-Thabari, dan di mana menurut editor dan penerjemahnya, D.S. Margoliouth, Miskawaih memperlihatkan bahwa dirinya jelas-jelas lebih unggul dibandingkan para sejarahwan terkemuka sebelumnya. Ada pun bidang etika, karyanya yang paling penting dan berpengaruh adalah Tahdzib Al-Akhlak Wa Tathir Al-A’raq. Merupakan buku induk karyanya yang berbicara tentang pendidikan akhlak.

Ibnu Miskawaih seorang yang tekun dalam melakukan percobaan-percoabaan unuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk mengajari dan mendidik anak-anak penjebat pemerintah, hal ini tentu menunjukkan bahwa Ibnu Miskawaih dikenal keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.

Ibnu Miskawaih juga digelari Guru ketiga (Al-Mualimin Al-Tsalits) setelah Al-Farabi yang digelari guru kedua (Al-Mualimin Al-Tsani) sedangkan yang dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak Etika Islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filasafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.

Ibnu Miskawaih bukan hanya seoarang teoritis dalam hal-hal akhlaq akan tetapi Ia juga adalah seorang yang menggunakan secara praktis apa yang telah ia tuliskan dalam buku-bukunya terutama tentang akhlak. Persoalan akhlak yang ditulis dan digeluti oleh Ibnu Miskawaih di masa hidupnya bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja, akan tetapi pengalaman dan kehidupannya dimasa muda yang bergumul dengan dunia glamour istana membuatnya berfikir keras.

Dalam beberapa literartur disebutkan bahwa kondisi kehidupan di masyarakat pada waktu itu sangat jauh dari nilai-nilai islam yang luhur. Salah satu permasalahannya adalah merosotnya akhlak generasi muda. Realita ini lah kemudian yang mendorong Ibnu Miskawaih untuk mengkaji, menekuni dan mempelajari akhlak. Sepanjang hidupnya Ibnu Miskawaih dikenal sebagai orang yang sangat committed dengan konsep yang ditulisnya tentang akhlak. Artinya antara teori yang dikedepankannya dengan tindakan praktisnya selalu sejalan. Bahkan melalui salah satu karyanya yang berjudul Tahżīb al-Akhlāq yang kemudian menjadi master piece-nya, namanya kian menjadi harum.