Konsep Pendidikan Akhlak perspektif Ibnu Miskawaih (932-1030 M)

Dalam diri manusia terdapat dua kekuatan antara lain pengetahuan (عالمة) dan Pengamalan/perbuatan (عاملة). yang pertama terkait dengan bagaimana manusia memperoleh Ilmu Pengetahuan sedangkan yang kedua adalah terkait dengan bagaimana manusia mengamalkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.

Menurut Suwito dalam bukunya konsep pendidikan akhlak yang digagas oleh Ibnu Miskawaih secara sederhana dimulai dari daya syahwat yang berpusat pada perut, kemudian dilanjutkan ke daya berani yang berpusat dalam dada, dan yang terakhir adalah pada daya fikir yang berpusat pada otak di kepala, keseimbangan ketiganya maka akan melahirkan sifat adil.

Secara sederhana penulis gambarkan sebagai berikut:

Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan Ibnu Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibnu Miskawaih dikemukakan sebagai berikut:

Tujuan pendidikan akhlak

Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati. Mencapai kebahagian adalah puncak dalam kehidupan manusia. Kebahagian disini bukan hanya sebatas kebahagian individu akan tetapi mencakup kebahagian sosial.

Tujuan pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih terletak pada kebaikan paripurna yang mencakup kedua kebaikan tersebut. Kebaikan paripurna ini disebut juga dengan as-sa’adah (kebahagiaan). As-saadah terbagi menjadi dua macam, yaitu jasmani dan ruhani. Kedua jenis as-saadah tersebut harus seimbang dalam diri manusia agar derajatnya tidak lebih rendah dari hewan. Sebenarnya, manusia mempunyai potensi untuk memperoleh kedua jenis as-sa’adah tersebut. Apabila ia mampu mendayagunakan potensi yang dimilikinya maka ia akan mencapai derajat as-sa’id at-tam (orang yang memperoleh kebahagian yang sempurna).

Rumusan tujuan pendidikan akhlak sebagaimana dijelaskan di atas, hakikatnya, merupakan cara yang ditempuh oleh Ibnu Miskawaih dalam memberikan motivasi kepada diri sendiri dan orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi Muhammad SAW. 

Fungsi pendidikan akhlak

  1. Memanusiakan manusia

  2. Sosialisasi individu manusia

  3. Menanamkan rasa malu

Materi pendidikan akhlak 

Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Miskawaih menjelaskan beberapa hal yang perlu untuk dipelajari, diajarkan dan dipraktekkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibnu Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang mampu memberikan jalan bagi tercapainya tujuan. Materi tersebut dijadikan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.

Materi pendidikan Ibnu Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. ada tiga kelompok materi penting dalam pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih :

  1. Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
  2. Hal-hal yang wajib bagi jiwa
  3. Hal-hal yang wajib bagi hubungan sesama

Setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya. Sehingga dalam kajian yang lebih luas sesungguhnya akhlak merupakan penyangga semua bentuk keilmuan.

Pendidik dan peserta didik 

Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibnu Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut Ibnu Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibnu Miskawaih. mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.

Seorang guru menurut Ibnu Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.

Kebaikan yang yang diberikan guru adalah kebaikan ilahi, karena ia mengantarkan anak didik kepada kearifan, mengajarkan kepada mereka kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kehidupan yang abadi dengan mendapat kenikmatan yang abadi juga. Meskipun demikian, pendidik atau guru tidak seluruhnya mampu mencapai derajat ini. Hanya guru yang berpredikat al- Mu’ allim al Mitsali (figur pendidik), al-Hakim (pemangku kebijakan) atau mu’ allim al-Hikmat yang berhak menyandang derajat rabb basyari.

Pendidik sejati yang dimaksudkan Miskawaih adalah manusia ideal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini sangat jelas karena ia mensejajarkan posisi meraka dengan posisi Nabi, terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik kepada gurunya menempati peringkat kedua setelah cinta kasih kepada Allah.

Yang dimaksud dengan guru biasa bukanlah sekedar guru formal karena jabatan. Akan tetapi, guru biasa menurut Miskawaih adalah guru yang memenuhi empat syarat berikut:

  1. Dapat dipercaya

  2. Pandai

  3. Dicintai

  4. Mempunyai citra yang baik di tengah masyarakat.

Di samping itu, ia harus menjadi cermin, bahkan harus lebih mulia dari anak didiknya. Setiap tingkah laku guru harus bisa menjadi panutan bagi peserta didik. Guru tidak hanya mengajarkan materi saja tapi ia juga harus menjadi figur teladan bagi siswanya. Guru dalam wacana Jawa harus menjadi sosok yang digugu lan ditiru, ucapannya dapat dipercaya dan tingkah-lakunya menjadi panutan. guru bukanlah sosok yang wagu tur saru, guru juga bukan sosok yang seperti glugu (pohon kelapa) turu (tidur). 

Lingkungan pendidikan

Lingkungan pendidikan selama ini dikenal ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ibnu Miskawaih secara eksplisit tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Muskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak. Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.

Lingkungan yang baik akan memberikan dampak yang baik pula bagi anak. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu peran keluarga dan sekolah adalah menyiapkan lingkungan yang baik dan kondusif bagi perkembangan mental anak. sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik termasuk dalam menikmati pendidikannya. 

Metode pendidikan akhlak 

Metode pendidikan dapat diartikan sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, metode ini terkait dengan perubahan dan perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak, maka metode pendidikan di sini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak.

Metode yang ditawarkan Ibnu Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibnu Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.

Menurut Ibnu Miskawaih ada tiga metode pendidikan akhlak, antara lain:

Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-’adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa.

Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.

Ketiga, Intropeksi diri atau mawas diri (muhasabat al-Nafs). Metode ini mengandung pengertian kesadaran seseorang untuk mencari pribadi secara sunguh-sungguh.