Manusia dan Akhlak dalam pandangan Ibnu Miskawaih (932-1030 M)

Konsep manusia 

Ibnu Miskawaih, sebagaimana Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina, mempunyai kesamaan persepsi bahwa munculnya berbagai materi di alam semesta ini terjadi karena pancaran (emanasi) dari Allah yang Maha Satu. Pancaran yang diartikan sebagai penjadian ini diuraikan sebagai berikut: Allah menciptakan akal-akal sebagai inti dari dua alam, yaitu makrokosmos (al-‘Alam al-Kabir) dan mikrokosmos (al-‘Alam al-Shaghir). Kedudukan akal ini sebagai penguat dan pemelihara kedua alam tersebut. Miskawaih berpendapat bahwa masing-masing akal mempunyai dua obyek pemikiran, yaitu berfikir tentang Penciptanya dan berfikir tentang dirinya.

Ibnu Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Menurut dalam diri manusia ada tiga daya yaitu:

  1. Daya bernafsu (Al-Quwah al-bahimiyyat)

  2. Daya berani (Al-Quwah As-Syabuiyat)

  3. Daya berfikir (Al-Quwah An-Natiqiyat)

Ketiga daya ini merupakan unsur rohani yang asal kejadiannya berbeda. Sesuai dengan pemahaman tersebut, unsur rohani berupa nafs al-bahimiyah dan nafs al-sabu’iyah berasal dari unsur materi, sedangkan nafs a-lnatiqah berasal dari Tuhan. Karena itu Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kedua nafs yang berasal dari materi akan mengalami kehancuran bersamaan dengan hancurnya badan, namun hal demikian tidak berlaku bagi nafs alnatiqah. Artinya, nafs al-natiqah tidak akan mengalami kehancuran.

Selanjutnya Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-bahimiyat/asy-syahwiyat (bernafsu) dan jiwa al-ghadabiyat/as-sabu’iyyat (berani) dengan jasad pada hakekatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi. Kuat atau lemahnya, sehat atau sakitnya tubuh berpengaruh terhadap kuat atau lemahnya dan sehat atau sakitnya kedua macam jiwa tersebut. Begitu pula sebaliknya.

Oleh karena itu, kedua macam jiwa ini, dalam melaksanakan fungsinya tidak akan sempurna kalau tidak menggunakan alat bendawi atau alat badani yang terdapat pada tubuh manusia. Dengan demikian Ibnu Miskawaih melihat bahwa manusia terdiri dari unsur jasad dan rohani yang antara satu sama lainnya saling berhubungan.

Dalam perspektif Ibnu Miskawaih, manusia sempurna adalah manusia yang mampu memanfaatkan potensi-potensinya dengan baik. Manusia yang sempurna dalam pandangan Ibnu Miskawaih memungkinkan mencapai derajatnya para Nabi dan Rasul.  Berbeda dengan Imam Al-Ghazali yang membatasi kemampuan manusia untuk mencapai derajat para Nabi dan Rasul.

Konsep Akhlak

Pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah. Doktrin jalan tengah yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doktrin of the Mean atau The Golden.

Ibnu Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibnu Miskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah).

Menurut Ibnu Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina, membunuh, mabuk-mabukan dan lain sebagaianya. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan akal sehat. keberanian yang dilakukan tanpa pertimbangan akal sehat disebut sebagai tindakan nekat dan ini berakibat fatal bagi pelakunya. 

Akhak menurut Ibnu Miskawaih adalah keadaan jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan-perbuatan dengan tanpa pemikiran dan pertimbangan. Dengan kata lain perbuatan tersebut dilakukan dengan spontan tanpa pertimbangan tertentu. Ibnu Miskawaih membagi akhlak menjadi dua macam yaitu:

  1. Akhlak yang diperoleh secara Alami
  2. Akhlak yang diperoleh dengan latihan