Namaku Tom.

Jakarta, 16 Desember 1984

Malam terlalu kelam untuk aku habiskan, cahaya bintang yang tak nampak dan rembulan yang tak kunjung hadir membuatku terkapar dalam detik-detik penantian yang tak kunjung usai. siang tadi aku ingat,betapa riuhnya ibu kota. aku tertegun memandang lintasan orang yang tak pernah habis. ada magnet yang terpasang di sudut-sudut Ibu Kota. suara-suara mulai serak, teriakan-teriakan mulai habis tak tersisa. hari tak lagi asyik untuk menikmati secangkir kopi dan potongan singkong rebus ala Emak di kampung.

Namaku Tom, aku terdampar di Ibu Kota. ketika semua jalan seperti tertutup, aku terpaksa mengikuti suara alam untuk meninggalkan kampung dan bergegas ke Ibu kota. ada yang bilang kejamnya ibu tiri tak sekejam Ibukota, entah benar atau tak salah. aku hanya terpaku di sudut Ibukota, lelah dan kantuk merayap dan menelanjangi seluruh persendian tubuhku. tapi rasa butuhku mengalahkan itu semua. aku harus berdiri dan melangkah, tak boleh terlalu lama duduk diantara tumpukan-tumpukan harapan dalam imajinasiku. oh Tuhan, tolonglah hambamu ini, beri petunjuk dan jalan terang hidupku. lantunan doa tak henti aku panjatkan sambil berharap ibukota tak sekejam cerita tetang ibu tiri.

“hai Tom”, sapa Pamanku

“iya paman”.jawabku lirih.

“gimana, sudah siap mengadu nasib di ibukota?” tanya pamanku sambil meyakinkanku

“Insyallah Paman, sudah terlanjur di sini”. jawabku

Paman mengajaku untuk ke ibu kota beberapa hari yang lalu. Beliau sudah lama disini, dari mulai membujang sampai sudah beranak tiga seperti sekarang ini, meski pun keadaan ekonominya tidak sebanding dengan lamanya beliau di Jakarta. tapi keluarganya tak pernah mengeluh. anak-anak semua bersekolah di kampung. Pamanku hanya seorang pedagang biasa di Ibukota. pendapatanya juga bergantung dari seberapa laku dagangannya terjual.

Tak terasa malam semakin larut, deru bising ibukota masih saja berlanjut, mungkin ini lah kata orang, jakarta kota yang tak pernah mati sepanjang hari. secangkir kopi dan sebatang rokok sisa-sisa dari perjalanan setia menemaniku menghabiskan malam. dalam kelam ada mimpi dan harapan, ada doa yang selalu terpanjatkan, ada lantunan irama menuju masa depan yang damai.