
Namaku Jo, aku mengajar disebuah sekolah di daerahku. sebuah sekolah negeri di pelosok sebuah desa kecil. sekolahku nyaman dan luas, boleh dikata sekolah terluas didaerahku. namanya SMA Negeri 008 (eit bukan saras 008 lho ya). aku sendiri merasa sangat nyaman mengajar disitu.
Belakangan ini, fikiranku sempat agak sedikit terganggu, sepertinya sebuah pertanyaan dilematis singgah dan memabayang-bayangi fikiranku. yah dua tahun terahir ini, sekolahku terpilih menjadi sekolah adiwiyata, dari mulai tingkat kabupaten, provinsi sampai nasional. tentunya ini sesuatu yang membanggakan. apalagi letak sekolahku berada di pelosok desa.
Persoalan yang membuatku terganggu adalah realita antara selembar penghargaan dengan fakta riil dilapangan. salah satunya adalah masalah sampah dan tradisi warga sekolah terhadapnya. sampah menurutku sebagai guru amatir masih menjadi momok tersendiri bagi sebuah sekolah yang katanya menyandang setatus sebagai sekolah adiwiyata.
Bagaimana tidak ?, sebagian besar warga sekolah 008 belum terbiasa untuk membuang sampah pada tempatnya, sleogan “kebersihan adalah sebagian dari iman” hanya menjadi hiasan dinding dan pemanis lidah saja. sekali lagi kita sebagai warga sekolah belum terbiasa membuang sampah pada tempatnya, sehingga tidak aneh jika sampah-sampah masih sering dijumpai di sekitar lingkungan sekolah tergeletak bebas bukan pada tempatnya.
Semestinya status sebagai sekolah adiwiyata, menjadi motivasi kita dalam menjaga lingkungan sekolah salah satunya agar terbebas dari serakan sampah di sekitar lingkungan sekolah. ah ini mungkin masih terlalu berat buat kita. level kita masih sebatas to know (sebatas tahu saja), belum sampai pada level to do.
bersambung…